Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim

dakwatuna.com – “Kalau anak-anak dulu ditengoki aja udah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak becakap mereka tak peduli”. Begitu komentar seorang ayah terhadap prilaku anak-anaknya. Apa yang diucapkannya  agaknya mewakili pernyataan para orang tua. Memang saat ini banyak orang tua bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali apa yang disampaikan orang tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi penting bagi orang tua memikirkan gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya.  Sebetulnya, orang tua bisa meniru gaya komunikasi Nabi Ibrahim dengan anaknya. Memang gaya komunikasi Nabi Ibrahim ini merujuk al-Quran. Tetapi, hemat saya, gaya komunikasi ini berlaku universal yang bisa ditiru oleh orang tua lintas keyakinan.

Tulisan ini adalah analisa wacana pragmatik terhadap surah ash-Shafat ayat 102. Ayat ini bercerita tentang dialog nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail tentang penyembelihan (kurban). Saat itu, Ibrahim mengatakan bahwa ia bermimpi melihat dirinya menyembelih si anak (Ismail). Dalam ajaran Islam, ayat inilah yang dijadikan dalil untuk melakukan penyembelihan (kurban) pada Hari Raya Idul Adha.

Mari kita perhatikan surah ash-Shaffat  ayat 102 yang menceritakan dialog antara nabi Ibrahim dengan anaknya, Ismail. Redaksi  ayat diterjemahkan sebagai berikut, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”

Menjelaskan ayat ini, penulis  menggunakan analisa wacana pragmatik yang kerap digunakan dalam studi bahasa dan komunikasi. Analisa wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Sementara pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan definisi ini, maka analisa wacana pragmatik dapat diartikan sebagai telaah mengenai makna dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan suatu jenis kalimat dengan makna yang berbeda. Tidak jarang, kalimat perintah digunakan untuk melarang. Contoh, seorang ibu yang melarang anaknya memanjat pohon dengan menggunakan kata, “Panjat, panjatlah!” Kalimat ini jenisnya kalimat perintah karena terdapat partikel lah. Tetapi dalam  konteks percakapan ibu dan anak, kalimat itu bermakna larangan. Si anak sebagai peserta komunikasi sadar kalau kalimat itu adalah larangan walau bentuknya kalimat perintah.

Kredibilitas Tinggi

Topik pembicaraan antara Ibrahim dan Ismail  adalah mimpi Ibrahim. Dalam mimpi itu, Ibrahim melihat dirinya menyembelih anaknya sendiri. Dalam dialog Ibrahim meminta anaknya memikirkan mimpi itu. Tetapi jawaban yang muncul dari Ismail adalah meminta Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Mari kita perhatikan dialognya.

Ibrahim berkata, “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?”

Ismail menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrahim sama sekali tidak mengatakan bahwa Allah memerintahkan dirinya untuk menyembelih Ismail. Tetapi Ismail memaknai mimpi yang diceritakan ayahnya itu wahyu Allah untuk menyembelihnya. Maka timbul pertanyaan mengapa Ismail begitu percaya  bahwa cerita ayahnya adalah wahyu dari Allah?

Dalam kajian komunikasi, penerima pesan (komunikan) percaya kepada penyampai pesan (komunikator) apabila komunikator memiliki kredibilitas tinggi. Everett M Rogers (1983) mengatakan kredibilitas adalah tingkat di mana komunikator dipersepsi sebagai suatu kepercayaan dan kemampuan oleh penerima. Menurut Alexis S Tan (1981) kredibilitas sumber terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang benar, sedangkan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan bahwa komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan.

Dua hal tersebut dimiliki Ibrahim, sehingga ia menjadi seorang komunikator dengan kredibilitas tinggi di hadapan anaknya, Ismail. Merujuk al-Quran, diceritakan banyak peristiwa yang membuktikan Ibrahim adalah orang yang berstatus nabi. Mulai dari pertentangannya dengan ayahnya sendiri, sampai kemudian Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud. Peristiwa hijrahnya ke Mekkah, juga berkaitan dengan  posisinya sebagai Nabi. Peristiwa tersebut juga diketahui Ismail sebagai seorang anak. Hal itulah yang mengokohkan posisi Ibrahim di mata Ismail. Sehingga ketika Ibrahim menceritakan mimpi, Ismail langsung memahami maksud sang ayah.

Kesamaan Pengetahuan dan Pengalaman

Proses komunikasi akan berlangsung efektif, jika komunikator dan komunikan memiliki kesamaan.  Wilbur Schramm  menyebut ada dua kesamaan yang membuat komunikasi efektif, yaitu  frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman). Schramm menyatakan bahwa filed of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif. (Effendy,2003:30-31)

Merujuk ke surah Ash-Shafat ayat 102 itu, disebutkan bahwa ada kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Hal itu dapat dilihat dari redaksi awal ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim….”.  Ada dua hal yang ditunjukkan dari redaksi ayat ini. Pertama, usia Ismail saat itu berada pada usia memahami perkataan dan peristiwa dengan baik. Kedua, Ibrahim dan Ismail melakukan berbagai macam kegiatan bersama. Walau dalam ayat tersebut tidak diceritakan secara detil bentuk usaha/ kegiatan yang dilakukan keduanya.

Tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses komunikasi adalah kerelaan Ismail untuk “dikorbankan”. Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa “penyembelihan” itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu berhasil terpenuhi. Hal itu disebabkan, kesamaan  frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman). Kondisi itu juga ditopang dengan usia Ismail saat itu yang mampu berfikir dengan baik.

Tan menyebutkan unsur kredibilitas adalah kepercayaan. Komunikan percaya komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Saat berdialog dengan Ismail, kalimat yang disampaikan Ibrahim tidak menunjukkan bahwa peristiwa penyembelihan itu untuk kepentingan Ibrahim. Kalimat yang disampaikan Ibrahim hanya menceritakan mimpi apa adanya. Ibrahim tidak menambahkan keterangan pada mimpi itu sebagai wahyu dari Allah. Kalimat itu berupa, “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”. Kepercayaan Ismail kepada Ibrahim semakin menguat ketika Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang  perisitiwa itu dengan kalimat,  “Maka fikirkanlah apa pendapatmu?”

Kepercayaan Ismail itu muncul karena kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail.  Peristiwa yang dialami bersama, membuat Ismail menempatkan Ibrahim sebagai seseorang yang melakukan sesuatu semata-mata karena perintah Tuhan. Ismail percaya ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi, kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, Ismail juga harus mengerjakan perintah Tuhan, karena Ismail juga mengakui dirinya sebagai hamba Allah.

Rekomendasi

            Dari uraian di atas, dapat diambil point-point sebagai acuan dalam berkomunikasi kepada anak. Pertama, orang tua hendaknya selalu melakukan kegiatan bersama sehingga terbentuk kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman) antara orang tua dan anak. Kedua, menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Hal inilah yang akan meningkatkan kredibilitas orang tua di mata anak. Tan menyebutkan kredibilitas adalah penilaian komunikan terhadap komunikator bahwa komunikator memiliki pengetahuan dan tidak memihak atas pesan yang disampaikan. Penilaian komunikan ini bisa terwujud jika komunikator (orang tua) menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatanya.

Ketiga, menyesuaikan pesan/informasi yang disampaikan kepada anak sesuai dengan usia sang anak. Seringkali, orang tua tidak menyesuaikan perkataan (informasi) yang disampaikan dengan usia anak. Kondisi ini membuat anak tidak mampu menalar pesan yang disampaikan dengan baik. Hasilnya, tujuan komunikasi tidak akan tercapai.

Ketiga point di atas hendaknya bisa menjadi acuan para orang tua dalam berkomunikasi kepada anaknya. Jika hal ini dilakukan, penulis yakin komunikasi yang dilakukan akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan oleh Ibrahim. Pertanyaan yang muncul, apakah orang tua mampu mengikuti gaya komunikasi yang dicontohkan Ibrahim itu?

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *