Belajar Berhitung dari Mamalia

“IBU, sudah ya, anak saya jangan diajari menggambar atau mewarnai aja. Anak saya mau berhitung!” Seorang ibu berkata kepada guru anaknya.

“Maksud Ibu apa?” anya guru.

“Anak saya bosen kalau menggambar terus. Dia mau tambah-tambahan juga kali-kalian,” jawabnya.

Lalu datang ibu yang lain menghampiri, kemudian berkata, “Kok susah ya ngajarin anak saya angka, dia gak hapal-hapal. Saya kasih tau ini angka 6,ini 7, e.e.e. bolak-balik salah terus, tolong ya bu disekolah diajarkan, supaya anak saya hapal sampai 100.”

Ada juga ibu yang lain yang datang kemudian, lalu berkata, “Bu, nanti anak saya kasih PR ya, pokoknya PR-nya harus tambah-tambahan, kalau gak ada PR dari sekolah anak saya gak belajar.”

Itulah beberapa dialog yang terjadi antara seorang guru dengan para ibu di sebuah lembaga PAUD. Sekolah-sekolah yang menggunakan metode konvensional, setiap hari akan berhadapan dengan tuntutan-tuntutan orangtua seperti dialog di atas.

Tentu saja tuntutan yang diminta sangat menyalahi fitrah anak-anak mereka.

Suatu hari saya melihat pertunjukan lumba-lumba. Penonton diminta memberikan soal kepada lumba-lumba dan singa laut ini. Untuk sang lumpa-lumba penonton meminta soal perkalian yaitu 5×2. Lumba-lumba akan menjawab dengan mengibaskan ekornya. Kipper menulis di sebuah papan tulis kecil angka 5 x 2 dan diperlihatkan kepada lumba-lumba. Setelah peluit ditiup sang lumba-lumba beraksi mengibaskan ekornya 10 x, penonton pun bertepuk tangan.

Mammalia saja bisa berhitung jika dilatih. Apalagi anak manusia. Apabila anak di-drill untuk berhitung sejak dini, maka anak hanya sekadar hapal saja. Baik hapal urutan angka 1,2,3,4..dst sampai 100 maupun hapal perkalian 1×1 s/d 1x 100.

Kita, orang dewasa perlu belajar, mengapa mammalia bisa berhitung, apa manfaatnya bagi mammalia? Juga mengapa manusia harus belajar berhitung? apa manfaat yang didapatkan bagi kehidupannya kelak? Yang harus dilakukan orangtua dan guru adalah memberikan kesempatan kepada anak memahami konsep bilangan, bukan sekedar hafal bilangan, penjumlahan dan perkalian.

Angka 0-9 adalah sesuatu yang abstrak bagi anak usia dini. Agar anak memiliki kemampuan konsep berhitung, maka orangtua atau guru harus mengenalkan konsep bilangan dengan benda kongkrit. Contohnya jika ingin mengenalkan konsep bilagan 7, maka orang dewasa harus memperlihatkan benda kongkritnya yang berjumlah 7. Contoh, ada 7 buah apel, ada 7 ekor ayam, ada 7 potong roti.

Jika anak belajar konsep bilangan, maka anak akan belajar hal yang berbeda. Ketika anak melihat angka 10 maka dalam pikiran anak akan terbangun bahwa 10 itu bisa 5+5,6+4,3+7,2+8,9+1 atau 5×2 atau 11-1 dan banyak lagi kemungkinan yang lain. Itu semua hasil “penelitiannya” sendiri.

Ketika anak sudah memahami konsep bilangan, bukan sekedar hapalan. Maka tahap perkembangan berhitungnya akan semakin kompleks. Hal ini akan mengantarkan anak untuk memiliki kemampuan berpikir analitis.

Kesalahan orangtua adalah ingin anaknya “buru-buru” bisa penambahan, perkalian maupun pembagian sejak dini, hingga memaksa anak mengerjakan PR, hal ini akan mengakibatkan anak-anak nya tidak tertarik untuk menyelesaikan soal matematika di usia dewasanya, malah kemampuan berpikir analitisnya tidak terbangun.

Sumber : https://www.islampos.com/belajar-berhitung-dari-mamalia-96980/